Sabtu, 18 Oktober 2008


Kalian pernah menulis sebuah cepern? Atau mungkin kalian suka menulis cerita? Kalian pernah mencucurkan airmata saat sedang menulis sebuah cerita? Aku pernah dan jangan menertawakanku. Aku yakin kalian pasti juga akan menangis kalau menulis cerita tentang masa lalu kalian yang menyedihkan. Mmm, tapi sebenarnya yang ku tulis bukan masa lalu yang menyedihkan sekali, koq. Aku sedang menulis sesuatu tentang cinta pertama saat tiba-tiba aku teringat masa SMPku dan teringat seorang cowok yang dulu pernah aku sukai. Sebenarnya aku sedang tidak bercerita tentangnya, tapi tiba-tiba saja aku teringat betapa dulu aku sangat menyukainya sampai kadang menangis kalau memikirkan kenapa harus berpisah. Lalu tokoh dalam cepern yang sedang aku tulis itu tiba-tiba berubah menjadi sosok cowok yang sudah hampir enam tahun ini aku lupakan. Dan tiba-tiba saja… aku malu mengatakannya, air mataku jatuh. Aku menangis saat menyelesaikan cerprn itu. Yah, agak gila, sih. Kedengaran terlalu ironis, ya? Tapi begitulah… Aku bukan penganut kepercayaan ‘cinta pertama adalah cinta yang sejati, abadi’, tapi nyatanya…

Kumohon, kalau ada yang merasa menjadi sosok yang saya maksud, lupakanlah!!


Balada Cinta Pertama

Pernah jatuh cinta ama seseorang? Itu hal yang biasa, ya? Bagaimana kalau tentang cinta pertama? Ga’ semua orang menyadarinya ‘kan? Tapi ada juga yang mempertahankan cinta pertama sampai mati-matian tanpa mengetahui alasan yang jelas kenapa dia harus mempertahankan cinta yang seperti itu. Meskipun Olin tahu benar hakekat cinta pertama, tapi dia ga’ sebegitunya mati-matian mempertahankan apa yang orang sebut-sebut sebagai ‘cinta abadi’ itu.

Cinta pertama itu cinta agung, itu kata orang-orang… Gimana menurutmu, Lin?” tanya Tasya suatu pagi. Yang ditanya malah asyik melihat-lihat buku-buku yang ditata rapi di toko buku tempat mereka berdua berdiri saat ini tanpa menengok sedikitpun ke arah sahabatnya yang dari tadi diajak muter-muter toko buku itu hampir satu jam.

Lin, lu denger gue ga’, sih?” kata Tasya kesal.

Iya, aku denger. Trus kenapa emangnya?” sahut Olin sambil matanya tidak lepas dari sebuah buku yang baru saja diambilnya.

Ya, gue ‘kan nanya pendapat elu,” jawab Tasya menahan kesal. Bukan satu kali ini dia jadi korban kecuekan Olin kalau cewek berkacamata minus itu sudah berhadapan dengan buku.

Ooo…”

Koq cuma ‘ooo…’, sih?”

Eh, Sya…buku ini bagus, nih. Ceritanya tentang pembunuhan berantai yang dilakukan seorang psikopat. Gila, ya? Aku jadi keinget kasus pembunuhan berantai yang lagi marak di negara kita. Ada-ada aja… Tapi kalau ada penulis kita yang jadiin kasus itu sebuah inspirasi buat nulis novel kriminal kayak penulis-penulis barat itu, dunia sastra kita jadi tambah marak, ya?” kata Olin sambil memberikan sebuah buku tebal kepada Tasya. Tasya melihatnya dengan pandangan sebal dan penuh kekesalan.

Ah, gue mau pulang!” katanya keras sambil berbalik pergi. Olin kaget dan langsung mencekal lengan Tasya kencang sehingga Tasya langsung berbalik mengahadapnya lagi.

Sya, kenapa? Koq, kamu jadi marah-marah sendiri?” tanya Olin. Tasya melipat kedua tangannya di depan dadanya sambil menatap Olin galak.

Gimana gue ga’ marah? Gue ngajak elu ngobrol, tapi yang diajak malah keasyikan baca buku. Elu ngajak gue ke sini buat nemenin elu, tapi malah dicuekin…” katanya marah-marah.


O, jadi itu masalahnya. Aku pikir apaan. Sori, deh, kalo’ gitu… Ya? Aku ga’ bakalan nyuekin kamu lagi, deh… Tapi kamu nemenin aku, ya?” pinta Olin sambil menatap Tasya dengan tatapan sayu dan pandangan mata berbinar-binar, cara jitu untuk merayu seseorang yang didapatnya dari Crayon Shinchan (ada-ada aja…).

Ya, ya…biasanya juga gitu ‘kan? Lagipula, siapa, sih, yang betah nemenin elu berlama-lama di toko buku selain gue?” timpal Tasya. Olin hanya tersenyum kecut. Dia lalu mulai menyusuri rak-rak buku sambil sesekali membaca sinopsis buku-buku yang dirasanya agak menarik. Tasya mengikutinya sambil menatap sobat dekatnya dengan pandangan heran.

Elu mau cari buku apa, sih, Lin?” tanya Tasya tak sabar.

Ada, deh…”

Huu, udah pinter main rahasia-rahasiaan segala, nih…”

Enggak, Tasya… Aku lagi cari sesuatu untuk... Ah, sudahlah. Kita pulang, yuk. Udah sore, nih. Aku ga’ mau kamu kelaperan lagi gara-gara aku, trus ujung-ujungnya aku yang nraktir kamu makan selama seminggu,” kata Tasya.

Jadi kemarin ga’ ikhlas, nih?”

Bercanda, bu…Yuk!”

Lho, trus bukunya? Ga’ jadi?”

Kapan-kapan aja, deh…” jawab Olin sambil mendahului Tasya berjalan ke arah pintu keluar. Tasya menatap punggung Olin bingung. Ga’ biasanya Olin keluar dari toko buku tanpa membawa atau membeli satu buku pun. Apa jangan-jangan sedang tidak punya uang? Ah, masa, sih? Kemarin saja Olin baru membeli baju yang harganya lumayan mahal. Dan Tasya tahu Olin adalah orang yang lebih memilih mengorbankan uangnya untuk membeli buku daripada barang-barang pelengkap kebutuhan macam baju de el el (opini yang agak memaksa ^_^) Tapi walaupun Tasya merasa ada sedikit ketidakberesan terjadi pada sahabatnya itu, toh dia mengikuti Olin keluar dari toko buku itu tanpa bertanya apapun.


@@@


Dua minggu kemudian…

Olin kembali berdiri di depan rak-rak buku di sebuah toko buku sambil matanya memandang berkeliling buku-buku yang ada di depannya. Sudah jadi kebiasaan Olin berdiri berlama-lama di toko buku itu sambil menimang-nimang (dengan sangat lama) buku apa yang akan dibelinya. Olin adalah satu dari beberapa pelanggan toko buku itu yang hampir tiap dua


minggu sekali pergi ke toko buku itu sekedar mencari tahu info buku-buku keluaran terbaru atau hanya ingin membaca-baca buku saja. Tapi biasanya dia tergoda juga untuk membeli, ^_^… Dan biasanya juga dia selalu ditemani oleh Tasya. Tapi karena hari ini Tasya sedang tidak enak badan, Olin memutuskan pergi sendiri. Selain itu, dia juga merasa tidak enak dengan Tasya karena harus berlama-lama berdiri menunggunya.

And oh, my love… I’m holding on forever

Reaching for a love that seem so far..

Olin tertegun mendengar lagu yang diputar melalui speaker yang dipasang tepat di atas rak buku di depan tempatnya berdiri saat ini. Olin tertegun bukan karena kaget mendengar suara lagu yang diputar agak keras itu, melainkan dia tiba-tiba saja seperti berjalan menembus waktu saat mendengar suara mendayu-dayu milik Shane ‘Westlife’ itu.

Lima tahun yang lalu… di sebuah SMP swasta terkenal di kota Solo…

Aduuhhh, mikirin apa, sih? Itu ‘kan udah enam tahun yang lalu… batinnya seraya menepuk dahinya dengan keras saat sebuah wajah tiba-tiba terlintas di benaknya.

Wah, datang lagi, ya, mbak?” sapa sebuah suara bariton di belakangnya. Olin menoleh ke belakang dan melihat seorang cowok sedang berdiri membelakanginya sambil menata buku-buku di rak yang berhadapan dengan rak yang ada di depan Olin. Cowok itu memakai seragam karyawan toko buku itu. Tak yakin cowok itu mengajaknya bicara tadi, Olin kembali menekuri buku yang tadi dipegangnya.

Mbak, suka baca-baca buku juga?” tanya cowok di belakangnya lagi. Olin menoleh sekali lagi untuk memastikan cowok itu tidak sedang mengajaknya bicara. Cowok tadi masih berdiri membelakanginya. Tapi di tempat itu sekarang tidak ada siapa-siapa kecuali Olin dan cowok itu.

Sori, situ dari tadi ngajak saya bicara?” tanya Olin hati-hati. Cowok itu menoleh sedikit ke belakang, dan Olin hanya bisa melihat wajahnya sedikit dari satu sisi.

Menurut mbak?” sahutnya.

Ya, kalo’ ngajak bicara orang, sopan santunnya ‘kan harus berhadapan langsung dengan lawan bicara bukan membelakangi,” tukas Olin ketus. Dia menghela nafas keras lalu kembali beralih kembali ke bukunya.

Suka buku yang berbau kriminal?” tiba-tiba cowok tadi sudah berdiri di sampingnya. Olin malas menimpalinya lagi, jadi dia cuma mengedikkan bahu sebagai jawabannya.

Wah, ‘kan cewek… Koq, sukanya yang keras kayak gitu? Cewek ‘kan sukanya biasanya yang berbau-bau romantis gitu,” kata cowok itu.


Olin mengambil nafas, berusaha untuk menahan kejengkelannya.

Emangnya ga’ boleh? Selera orang ‘kan beda-beda. Lagian kenapa, sih, dari tadi nanya-nanya?” kata Olin kesal, tapi matanya tidak beralih sama sekali dari buku yang sedang dipegangnya.

Yah, sekedar mau tau aja. Mbak, biasanya kalau baca-baca harus beli, lho…”

Olin menutup buku yang dipegangnya dengan keras. Lalu dia beralih menatap karyawan yang tidak tahu sopan santun itu, dan siap untuk meledakkan emosinya. Tapi sebelum dia sempat memuntahkan lava panas yang sejak tadi sudah menggelegak di puncak kepalanya, jantungnya lebih dulu berdentum-dentum tak karuan saat dia melihat seseorang yang sudah berdiri di hadapannya saat ini.

Lho…?” hanya itu yang keluar dari mulutnya dan bukannya teriakan-teriakan kasar yang sudah sejak tadi ingin keluar dari mulutnya.

Kamu ‘kan…?” cowok itu balas menatapnya dengan pandangan sama kagetnya.

Yoga ‘kan?” tanya Olin.

Iya, kamu… Kamu temennya Reva ‘kan ? Kamu dulu anak kelas C ‘kan? Siapa… Olin, ya?” kata cowok yang ternyata adalah teman Olin satu angkatan saat SMP dulu. Yoga Pramana Putra. Cowok tajir yang dulu sempat mengisi hati Olin. Dan dia adalah satu-satunya cowok yang dulu bisa menembus hati Olin yang kata-kata orang kayak batu. Dan dia jugalah satu-satunya cowok yang bisa membuat hati Olin berdetak tak karuan seperti sekarang. Padahal kejadian itu sudah lama sekali, sudah hampir enam tahun sejak mereka berpisah setelah upacara kelulusan kelas tiga SMP dulu.

Iya. Kamu sekarang di sini?” kata Olin. Yoga tersenyum. Dan dia masih seperti dulu. Masih seperti cowok SMP yang cute dan jadi idola banyak anak cewek. Meski gayanya sekarang agak sedikit kemayu. Dulu Yoga orangnya dingin dan ga’ pedulian gitu. Olin jadi ingin tertawa sendiri kalau dulu dia pernah naksir cowok yang seperti itu dan lagu kenangannga pun Westlife. Yah, namanya saja masa puber…

Maksudnya?”

Ya, di sini.. Kerja di sini?”

Ah, enggak. Aku masih kuliah. Ini toko punya om-ku, aku cuma bantu-bantu aja,” jawab Yoga. “Kamu sendiri?”

Oh, kukira kamu kerja di sini. Habisnya, pake seragam pelayan segala, sih… Aku sekarang juga masih kuliah, koq,” jawab Olin sambil menyebutkan universitas swasta terkenal di kota Solo. Lalu pembicaraan pun berlanjut cukup lama dengan topik khas pembicaraan “ketemu


teman lama di jalan”. Ya, tentang sekarang tinggal di mana-lah, lagi sibuk ngapain, udah punya pacar belum… Dan Olin ga’ heran kalau Yoga udah gonta-ganti pacar yang ke-sekian kalinya.

Yah, biasa-lah… resiko punya wajah ganteng emang kayak gitu,” celetuknya sambil terkekeh geli. Olin menatapnya dengan tatapan mencela, tapi sesaat kemudian dia tersenyum juga.

Eh, ngomong-ngomong, aku sering liat kamu datang ke sini. Suka baca buku?” tanya Yoga lagi.

Ya, gitu, deh…” jawab Olin sekenanya.

Kamu lagi baca buku apaan?” tanya Yoga yang kelihatannya tidak basa-basi.

Oh, ini? Ini buku tentang Roberta Cowell, mantan pilot pesawat tempur yang ganti kelamin jadi cewek tulen. Aneh, ya? Gimana menurutmu?” tanya Olin seraya memperlihatkan buku yang dari tadi dipegangnya.

Wajar-wajar aja, tuh,” sahut Yoga. Olin mengernyit menatapnya.

Kenapa? Bukankah itu sesuatu yang melanggar kodrat sebagai seorang manusia? Mereka sudah dikodratkan menjadi seorang laki-laki maupun perempuan, ga’ seharusnya mereka mengganti seenaknya apa-apa yang telah mereka punya,” kata Olin mulai beropini. Tapi Yoga cuma tersenyum menanggapinya.

Apa yang kamu ketahui tentang kodrat, Lin? Apa itu adalah sesuatu yang dibawa manusia sejak lahir? Lalu bagaimana dengan kasus Cat Steven? Dia dibesarkan dalam lingkungan gereja yang taat beragama, tapi tiba-tiba dia berubah menjadi seorang Muslim sejati,” kata Yoga.

Itu hidayah, kurasa. Dan kasus transexual tidak bisa disamakan dengan sesuatu yang seperti baru saja kamu ceritakan tadi,” tukas Olin cepat-cepat.

Apa bedanya? Yusuf Islam memilih islam karena dia tidak nyaman dengan agama yang dianut orangtuanya, dan sejak mengenal Islam dia menemukan kebahagiaannya dan merasa itulah jalan yang seharusnya dipilihnya dari dulu. Tak jauh beda dengan…, yah, orang-orang yang melakukan transexual atau semacamnya. Mereka merasakan ketidaknyamanan dengan posisi mereka saat ini… Mereka merasa terjebak dalam tubuh yang salah dan semacamnya,” jelas Yoga panjang lebar. Olin menatapnya dengan pandang penuh tanya. Itu sama sekali tidak seperti itu…pikirnya.

Sekarang Olin menyadari ada sesuatu yang lain dari Yoga yang dulu. Yoga yang dikenalnya dulu adalah sosok yang ga’ mau tahu dan ga’ mungkin bisa bicara seperti tadi kalau sedang dimintai pendapat.

Dan kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?”
Yoga menatapnya tajam dan saat itulah Olin merasa perasaannya pada cowok manis ini ga’ berubah, sama seperti lima tahun yang lalu.

Karena, kita ga’ bisa men-judge seseorang hanya dari penampilannya saja. Kita ga’ tau, kenapa mereka berbuat seperti itu ‘kan?” kata Yoga santai. Olin mengangguk dalam diam.

Saat tiba di rumah beberapa waktu kemudian, Olin masih memikirkan kata-kata Yoga di toko buku tadi. Ada yang aneh dalam kata-kata Yoga. Walaupun Olin belum pernah belajar psikologi, tapi dia tahu ada yang disembunyikan dari kata-kata Yoga tadi.

Dan pertanyaan-pertanyaan yang dirasa Olin hampir saja mengambang ke permukaan tanpa jawaban itu, akhirnya terjawab sudah saat dia menerima telepon dari Nina, sahabat kentalnya saat di SMP dulu.

Yoga?! Kamu masih ada perasaan sama dia?” adalah kata-kata pertama yang diucapkan Nina saat Olin baru mengucapkan kata Yoga. Kata-kata Nina terdengar sinis dan meremehkan. Olin menduga kalau nada bicaranya menjadi seperti itu mungkin karena menyimpan perasaan pada seorang cowok yang ga’ mungkin berpaling padamu selama lima tahun adalah suatu hal paling konyol. Tapi ternyata bukan itu.

Enggak! Emangnya aku bilang gitu?” elak Olin. Lalu dia menceritakan pertemuannya dengan Yoga seminggu yang lalu serta percakapan singkatnya dengan Yoga.

Pantes aja dia ngomong gitu…” komentar Nina setelah Olin selesai bercerita. Olin heran.

Kenapa emangnya?” tanyanya.

Lho, jadi kamu ga’ tahu?”

Tau apa?”

Itu, Yoga…”

Ya, dia kenapa?”

Dia ‘kan… banci,” sahut Nina. Olin masih belum menangkap kata-kata Nina.

Dari dulu ‘kan? Dia emang bukan cowok gentle kaya…”

Ya, ampun, Lin… Ini banci dalam arti sebenarnya. Waria, maksudku…”

Olin terdiam sesaat.

Apa, Nin?”

Iya, waria… Jadi selama ini kamu ga’ tahu? Aduhh, Lin, itu udah berita dari dulu. O iya, kamu ‘kan SMA ga’ sama kita, ya? Sejak lulus SMA dia berubah. Sejak dia ikut lembaga kemasyarakatan dan bergaul dengan para waria. Dia jadi lebih feminim, yah, walaupun di mata gadis-gadis yang belum kenal dekat dengannya dia masih kelihatan macho. Tapi dari dalam ada yang berubah dari Yoga. Aku tahu itu saat aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Dia bahkan bilang kalau dia punya kesempatan, dia ingin…” Nina tidak melanjutkan kata-katanya.

Apa?”

Transeksual.”

@@@


Bukannya Olin tidak mempercayai kata-kata Nina yang dari dulu dipercayainya. Tapi karena memang dia tidak mau percaya kalau itu benar terjadi. Maka siang ini selepas kuliah, Olin mampir ke toko buku yang biasanya, tempat dia bertemu Yoga dua minggu yang lalu. Saat dia tiba di toko buku itu, tempat itu ramai seperti biasanya. Olin melempar pandang ke seluruh ruangan, mencari-cari sosok Yoga. Tapi tidak ada sosok Yoga yang berbalut seragam karyawan toko buku itu. Olin lalu menghampiri seorang perempuan muda yang berdiri di belakang meja kasir.

Mbak, mau tanya… Mm, karyawan yang namanya Yoga Pernama Putra hari ini masuk?” tanya Olin. Perempuan itu menatap Olin dengan pandangan penuh tanya.

Yoga… keponakannya Pak Burhan, pemilik toko ini?” tanyanya.

Ya.”

Oh, dia udah ga’ di sini lagi. Udah seminggu ga’ ke sini,” jawab perempuan itu ramah.

Seminggu? Mbak tau alasannya kenapa dia ga’ di sini lagi?”

Dia cuma bantu-bantu aja di sini. Bukan pekerja tetap. Mungkin udah bosen. Denger-denger dia anak orang kaya, jadi ga’ mungkin betah kerja kaya’ gini. Lagian dia ‘kan keponakannya Pak Burhan, seorang paman yang baik kayak Pak Burhan ga’ mungkin ngebiarin keponakannya bekerja lama-lama di tokonya sendiri,” jelas perempuan itu.

Mbak tau di mana saya bisa menghubungi dia?” tanya Olin.

Wah, saya ga’ begitu tau kalo’ itu, dek… Kayaknya ada sesuatu yang penting banget. Temen kuliahnya, ya? Atau temen deketnya?” perempuan itu tersenyum malu-malu pada Olin. Olin hanya tersenyum samar.

Ng, temen SMP-nya, koq, mbak… Ya, udah, makasih, ya, mbak?”

Kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan, dititipin saya aja. Nanti kalau dia ke sini, mbak sampaikan,” kata perempuan itu. Olin terdiam sebentar.

Gini aja, punya kertas, mbak?”

Perempuan itu memberikan Olin sebuah memo kecil yang lucu dan masih baru. Lalu Olin mulai menuliskan sesuatu di halaman pertama memo itu.

Buat Yoga…

Sebelum aku ketemu kamu di toko buku ini, sehari sebelumnya temenku menanyakan sesuatu padaku. Tentang arti cinta pertama bagiku. Aku ga’ menjawab waktu dia menanyakan hal itu padaku. Tapi sehari setelah itu, tepatnya saat aku bertemu denganmu, aku baru bisa menjawabnya. Arti cinta pertama bagiku adalah, yah, kau tahulah…Tapi kemudian, setelah aku sadar bahwa perasaanku masih sama seperti dulu, aku mendengar sesuatu yang lain, suatu pernyataan yang menyakitkan. Sesuatu yang berhubungan dengan apa yang kita bicarakan di toko buku ini. Dan kalau itu benar, apakah berarti kamu sudah menemukan arti kodrat bagi manusia, minimal bagi dirimu sendiri? Apakah kamu sudah yakin dengan jalan yang kau pilih, sahabatku? Kalau kamu sudah menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaanku ini, temui aku di toko buku ini.

Olin

@@@

Empat tahun kemudian…

Olin memasuki toko buku yang selalu dikunjunginya setiap akhir minggu saat dia masih duduk di bangku kuliah. Senyum rindu akan tempat yang dulu sering dikunjunginya untuk mengusir penat di tengah-tengah sibuknya mengurus tugas kuliah tersungging di bibirnya. Tempat itu masih sama seperti saat Olin mengunjunginya terakhir kali dua tahun yang lalu. Masih penuh sesak oleh anak-anak kuliah. Bedanya sekarang adalah bahwasannya Olin bukanlah anak kuliahan seperti mereka, dia sudah menjadi guru pembantu di sebuah SD negri terkenal di kota itu.

Olin berjalan ke arah rak tempat buku-buku favoritnya, tempat yang dulu sering dijadikan tempatnya berdiri berlama-lama hanya untuk sekedar membaca-baca buku saja tanpa membelinya. Olin membuka sebuah buku tebal yang diberi tanda ‘best selling novel’. Sekarang sudah jarang sekali dia membaca-baca buku seperti itu. Hampir tidak ada waktu bahkan untuk sekedar membaca sinopsisnya saja. Tapi hari ini entah kenapa dia rindu sekali dengan tempat itu. Saat sedang mengembalikan buku itu ke tempatnya, seorang wanita muda yang sangat cantik berjalan melewati Olin dan berdiri membelakanginya. Olin mengerling padanya sebentar. Dia seperti pernah melihat wanita itu. Dari dandanannya sepertinya dia dari golongan ke atas menengah. Dan sejauh yang dia tahu, dia belum pernah punya kenalan dari golongan ke atas menengah seperti itu. Lagipula, kalau seumpanya mereka saling mengenal, atau setidaknya wanita itu mengenalnya, pasti ada respon sedikit dan bukannya saling membelakanginya seperti ini. Olin angkat bahu dan kembali menekuri rak-rak buku di depannya.

Sebentar kemudian sebuah lagu diputar melalui pengeras suara yang berada tepat di atas rak di depan tempat Olin berdiri.

And oh my love… I’m holding on forever

Reaching for a love that seem so far…

DEGG!!

Olin terbelalak kaget. Jantungnya terasa berhenti saat itu juga. Bukan karena lagu yang baru diputar itu mengingatkannya pada Yoga yang sekarang entah ada di mana. Dia tiba-tiba saja teringat sesuatu. Tapi segera ditepisnya pikirannya jauh-jauh karena merasa konyol sendiri dengan ‘penemuannya’ itu.

Udah lama ga’ ke sini, ya? Olin ‘kan?” sapa sebuah suara lembut di belakangnya. Olin menoleh dan mendapati wanita cantik itu sekarang berdiri di belakangnya dan sedang tersenyum ke arahnya. Olin menatapnya bingung.

Iya, tapi… saya sepertinya ga’ mengenal Anda,” katanya.

Aku juga tadinya ga’ tahu kalo’ itu kamu, habisnya udah beda, sih. Pake’ jilbab sekarang. Trus aku inget kalo’ aku sering liat kamu berdiri di sini,” kata wanita itu. Olin masih ga’ ngerti.

Tapi, mbak siapa, ya?” tanya Olin lagi.

Masa’ lupa, sih? Aku beda banget, ya? Aku udah terima pesanmu, lho… Tapi baru seminggu yang lalu. Maaf, ya? Habisnya aku ke sini lagi baru sebulan yang lalu,” kata wanita itu. Olin menatapnya penuh tanda tanya. Tunggu! Aku menitip pesan hanya untuk satu orang…dan itu juga buat Yoga, bukan buattunggu! Aku ingat sekarang!

Olin menatap wanita itu dengan kaget dan tak percaya. Pantas saja dia seperti pernah melihat wanita itu di suatu tempat. Pantas saja dia merasa sudah pernah mengenal wanita itu. karena wanita itu adalah…

Yoga??” tanyanya. Yang ditanya cuma tersenyum malu-malu. Olin sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Dia masih ternganga tak percaya menatapnya.

Jangan panggil begitu. Sekarang panggil Olga aja. Waktu kamu ke sini buat nitipin pesan itu, aku udah di Amerika ikut Mami-ku. Aku ga’ begitu suka tinggal dengan Papi, karena dia ga’ setuju dengan sikapku yang waktu itu masih berpenampilan laki-laki tapi feminim. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke Amrik, negri yang mau menerima orang-orang seperti kami. Dan sekarang, aku udah jadi, yah, wanita tulen seperti kamu. Dan kamu tau, Lin? Aku bahagia dengan diriku yang sekarang. Dulu aku merasa aku seperti membohongi diriku sendiri dan merasa ga’ bebas dengan semuanya. Sepakbola, nge-band, punya cewek banyak… semuanya itu aku lakukan hanya untuk menutupi kegalauan yang ada dalam diriku. Tapi sekarang aku bisa melakukan apa saja tanpa takut dengan pandangan orang tentang ‘melanggar kodrat’,” kata Yoga atau Olga, entahlah.

Jadi, kamu sudah tahu apa itu kodrat, Ga?” tanya Olin.

Belum, Lin. Tapi aku tahu inilah takdirku. Takdirku adalah hidup sebagai seorang perempuan, bukan sebagai seorang laki-laki. Jadi, tidak ada salahnya aku memperbaiki sedikit kesalahan,” kata Olga.

Jadi, kamu berpendapat bahwa Tuhan telah melakukan kesalahan dengan menjadikanmu sebagai seorang laki-laki?” kata Olin ga’ percaya.

Begitulah…”

Oke. Kamu sudah mengambil keputusan. Kamu pernah mengajariku supaya jangan pernah mengadili seseorang dari sisi eksternalnya saja, tapi juga dari sisi internalnya. Tapi, maaf, Ga, aku belum bisa menerima alasan internal yang dapat aku masukan sebagai alasan masuk akal selain keputusasaan seseorang akan pencarian jati dirinya yang sempat hilang setelah perceraian orang tuanya. Padahal aku yakin sekali kalau kamu juga pernah belajar Al- Qur’an saat SMP dan pernah mendengar satu ayat tentang jangan pernah berputus asa dalam rahmat Allah. Bukankah kamu dulu juga sering diajari untuk selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an agar tidak menyimpang dari jalanNya? Aku juga yakin sekali kalau kamu pernah mendengar ayat tentang bahwasannya Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, dan tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengubah ciptaanNya?” Olin menghela napas panjang.

Jadi, kau berpikir kalau aku sudah menyimpang?”

Ya, maaf saja. Karena kamu sudah pernah diajari agama, kenapa kamu melupakan ilmu yang begitu penting, Ga? Kenapa kamu ga’ bersyukur sudah ada di dunia ini? Kamu sudah diberi kesempatan yang bagus untuk hidup di dunia ini. Tidak ada yang bermasalah dengan anggota tubuhmu. Kurang apa lagi?” Olin terdiam sebentar, lalu dia menarik nafas panjang dan mulai berkata lagi,”Maaf, kalau aku emosi. Tapi sampai sekarang pun aku masih belum bisa mengerti dan menerima alasan orang-orang sepertimu melakukan hal yang… Yoga, aku minta maaf. Aku ga’ bermaksud menyakitimu. Kamu terlalu cepat mengambil keputusan. Padahal kalau kamu mau bercerita padaku, aku mau membantumu,” Olin menarik nafas panjang, menunggu Yoga untuk mengucapkan sesuatu. Tapi dia hanya menatap Olin lekat-lekat, tidak mengucapkan sepatah katapun.

Yog, maaf…aku ga’ bisa menjadi teman yang baik dan bisa mengerti kamu. Tapi ini terlalu menyakitkan buatku. Aku tahu, aku seharusnya cepat-cepat melupakan masa lalu dan… menghapus kenangan bahwa dulu kamu adalah cinta pertamaku,” kata Olin setengah tertawa setengah menahan perih yang sekarang bercokol di hatinya. Yoga tiba-tiba meraih tangannya.

Tidak perlu minta maaf. Kamu adalah satu-satunya teman yang memperhatikan aku sampai sejauh ini. Orangtuaku pun bahkan tidak mau tahu. Tapi aku sudah mengambil keputusan, Lin, dan ini adalah jalanku. Aku tahu, aku membuat semua orang kecewa termasuk kamu. Tapi sudah terlambat untuk mengetahui semua kebenaran, Lin,” kata Yoga seraya melepas tangannya.

Itukah yang kau pikirkan? Apakah kau benar-benar akan mengambil jalan ini? tapi semua pertanyaan itu hanya berhenti sampai tenggorokannya saja.

Lin, minggu depan aku akan ke Amrik. Aku akan tinggal di sana, dan tidak tahu pasti kapan akan kembali ke Indonesia. Ibuku sudah mendapat pekerjaan tetap di sana. Aku masih sangat bergantung pada ibuku, kau tahu? Jadi, mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita,” kata Yoga seraya menatap Olin sedih. Olin balas menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ini semua terlalu menyakitkan buatnya. Asal kau tahu, Yog… perasaanku padamu masih sama dari dulu, meski sekarang kamu bukan Yoga yang dulu, batin Olin perih.

Yah, sudah saatnya kita menempuh jalan kita masing-masing,” kata Olin.

Mereka terdiam sesaat, membiarkan perasaan mereka dilenakan oleh suara empuk Shane Filan.

Aku harus pulang sekarang, kurasa,” kata Olin sesaat kemudian. Saat dia menjabat tangan Yoga untuk terakhir kalinya, Yoga menggenggam tangannya erat.

Kamu boleh membenciku dengan keadaanku yang sekarang, Lin… Aku memang pantas mendapatkannya. Maafkan aku juga, tidak bisa membahagiakanmu sebagai seorang sahabat. Padahal seperti yang banyak kudengar, cinta pertama akan berakhir bahagia,” kata Yoga sambil tertawa renyah. Olin tersenyum getir dan tidak mengucapkan apa-apa.

Boleh aku meminta sesuatu darimu?” tanya Yoga. Olin menatapnya lalu mengangguk.

Mungkin aku bukan Yoga yang dulu, cowok ABG yang jadi idola banyak cewek. Cowok yang dulu pernah ada di hatimu, yang membuatmu berdebar-debar saat bertatap muka. Tapi ada satu yang ingin aku minta darimu, jangan pernah lupakan kenangan itu. Jangan lupakan Yoga yang dulu pernah mengisi hatimu,” kata Yoga lembut. Olin hanya mengangguk. Yoga tersenyum. Mungkin itu adalah senyuman terakhir yang bisa dilihat Olin dari seorang Yoga.

Lalu setelah mengucapkan salam perpisahan, Olin meninggalkan toko buku itu. Mungkin ini terakhir kalinya dia mengunjungi toko buku itu. Tanpa pernah diketahui oleh Yoga maupun Olin sendiri, saat keduanya berjalan terpisah dan saling membelakangi, airmata jatuh dari mata masing-masing. Entah airmata haru atau kepedihan yang tak tertahankan. @@@





Tidak ada komentar: